Sanusi Pane merupakan keturunan Batak di Sumatera Utara. Sanusi dilahirkan di Muara Sipongi Tapanuli Selatan pada tanggal 14 November 1905. Ia merupakan kakak kandung sastrawan Armijn Pane.

Pendidikan Sanusi Pane ditempuh di Hollands Inlands School (HIS) Padang Sidempuan, Bengkulu. Selanjutnya ia bersekolah di Europeesche Lager School (ELS) Sibolga dan melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang dan Jakarta. Setelah tamat MULO pada 1922 dia belajar di Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) di Gunung Sahari pada tahun 1922-1925 yang dijalankan oleh Theoshopical Society.
Menurut Tod Jones dalam buku Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia, Sanusi lalu diangkat menjadi guru di sekolah tersebut sampai tahun 1931. Kesempatan mengakses pendidikan pada tahun-tahun tersebut menunjukan bahwa Sanusi Pane bukan berasal dari keluarga biasa. Hal ini dikarenakan pendidikan pada masa Belanda hanya ditujukan untuk kalangan Eropa dan bangsawan.
Pada tahun 1929-1930 Sanusi melawat ke India untuk mendalami kebudayaan Hindu. Perjalanan tersebut kemudian sangat mempengaruhi pemikirannya. Hal tersebut dapat dilihat melalui karya-karyanya yang tidak lepas dari filsafat India.
Sebagai contoh, dalam salah satu karya dramanya yang berjudul “Manusia Baru”, Sanusi menjadikan Madras-sebuah kota di India sebagai latar. Selain itu, ia menggunakan nama-nama khas India seperti tokoh Saraswati Wadia, Gopal Chandra sastri, Sarkar dan lainnya.
J.U. Nasution dalam buku Pudjangga Sanusi Pane menyebut jika karya-karya Sanusi Pane banyak dipengaruhi oleh sastrawan dan pemikir modern India, Rabindranath Tagore. Sanusi Pane nampaknya mengamini gagasan Tagore yang menyatakan jika seni merupakan jembatan yang menghubungkan antara individu dengan lingkungan sekitarnya.
Karya-karyanya tidak hanya terpengaruh oleh filsafat India, tetapi juga oleh kesusasteraan Jawa. Misalnya karya “Sandhyakala ning Majapahit” dan “Kertadjaya”. Kedua karya tersebut memuat nilai nasionalisme dan semangat perjuangan untuk Indonesia. Sanusi Pane sebagai sastrawan menunjukan cita-cita membentuk natie melalui karyanya serta keberpihakan terhadap para pejuang kemerdekaan.
Salah satu hal yang diingat dari Sanusi Pane adalah perdebatannya dengan sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Kedua tokoh ini, bersama dengan Armijn Pane, Amir Hamzah dan tokoh-tokoh lain merupakan bagian dari majalah sastra terkemuka Poedjangga Baru. Meskipun sama-sama berkecimpung di Poedjangga Baru, keduanya terlibat dalam sebuah polemik kebudayaan akibat perbedaan pandangan mengenai keindonesiaan.
STA mememulai polemik melalui artikel berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang diterbitkan oleh Poedjangga Baru pada 1935. Melalui artikelnya, STA berusaha membedakan antara keindonesiaan yang merupakan produk abad XX dan pra-Indonesia, pendahulunya yang bersifat statis dan tradisional serta identik dengan ketimuran.
STA mengajak masyarakat supaya gagasan keindonesiaan dapat melihat peradaban Barat yang lebih dinamis. Dalam buku Polemik Kebudajaan, STA menguraikan sebagai berikut:
Zaman pra-Indonesia, zaman djahilliah Indonesia itu setinggi-tingginja dapat menegaskan pemandangan dan pengertian kita tentang lahirnja zaman Indonesia, tetapi djangan sekali-kali zaman Indonesia dianggap sambungan atau terusan jang biasa dari padanja. Sebabnja dalam isinja dan dalam bentuknja keduanya berbeda: Indonesia yang ditjita-tjitakan oleh generasi baru bukan sambungan Mataram, bukan sambungan keradjaan Banten, bukan keradjaan Minangkabau atau Banjarmasin.
Gagasan STA tersebut lalu ditanggapi Sanusi Pane dalam artikel berjudul “Persatuan Indonesia” yang dimuat pada surat kabar Soeara Oemoem pada tanggal 4 September 1935. Dalam artikel tersebut, Sanusi menyanggah pembagian kebudayaan Indonesia dan pra-Indonesia yang disebut oleh STA. Sanusi berpendapat bahwa karakteristik kebudayaan Indonesia yang umum telah ada dalam seni dan adat sebelum Indonesia mengembangkan kesadaran identitas bersama.
Sanusi juga berbeda pandangan dengan STA mengenai gagasan budaya Barat dan Timur. Baginya kebudayaan Barat yang bersifat meteriil dan Timur yang bersifat spiritual dapat dikombinasikan dan ditempatkan secara sederajat dalam pengembangan kebudayaan Indonesia. Sedangkan sikap condong kepada salah satunya akan membatasi perkembangan kebudayaan Indonesia.
Menurut Sanusi, sejarah merupakan rantai dari peristiwa sebelumnya, sehingga tidak terpisahkan meskipun dalam prosesnya terjadi pertentangan. Misalnya adanya pujangga baru tentunya diawali oleh keberadaan pujangga lama. Keindonesiaan pada masa tersebutpun sudah ada, baik dalam adat maupun seni, yang belum ada yaitu natie atau kesadaran sebangsa.
Sanusi Pane dalam buku Polemik Kebudajaan juga menerangkan jika perbedaan sikap orang Barat dan Timur dipengaruhi oleh kondisi geografis yang mempengaruhi daya tahan hidup manusianya, sehingga dengan latar belakang yang berbeda antar keduanya tidak dapat dipertentangkan. Hanya saja keduanya saling memiliki azas kebudayaan masing-masing.
Pandangannya mengenai kebudayaan Indonesia baru yang dikemukakannya merupakan perpaduan antara Timur dan Barat. Konsep Sanusi ini, tidak lepas juga dari pengaruh Tagore. Kebudayaan yang datang tidak harus ditolak secara penuh tetapi juga tidak menerimanya begitu saja.
Meskipun terpengaruh oleh banyak pandangan dan pemikiran, pada prinsipnya Sanusi tetap menerapkan sikap selektif. Tagore memang menjadi inspirator baginya, namun hal tersebut tak berarti kebudayaan Hindu diadopsi secara penuh oleh Sanusi dalam membentuk kebudayaan di Indonesia.
Polemik kebudayan yang melibatkan keduannya akhirnya bertentangan dengan dirinya sendiri. Pendapat STA kemudian terbantahkan oleh artikelnya sendiri yang berjudul “Menumbuhkan Pribadi Sendiri”. STA melalui artikel tersebut justru menginterpretasikan jika orang Indonesia tidak perlu menjadi orang Barat atau Timur tetapi harus memiliki jati diri.
Demikian halnya dengan Sanusi Pane dalam drama “Manusia Baru”, perginya Saraswati dari rumah orangtuanya berarti meninggalkan kebudayaan lama. Dalam pandangan J.U. Nasution, Disadari atau tidak akhir cerita dara tersebut menentang pendapat Sanusi sendiri mengenai kebudayaan.
Selain menulis karya sastra, Sanusi juga menulis buku mengenai sejarah Indonesia dengan sudut pandang sastrawan. Baginya ilmu sejarah bersifat relatif, terbatas harganya, dan terikat dengan semangat zaman. Untuk mencapai titik objektif, maka diperlukan adanya inventarisasi dan dokumentasi.
Mitos, dongeng ataupun cerita-cerita yang meriwayatkan peristiwa masa lampau hakikatnya sama dengan uraian sejarah, tetapi memiliki tingkatan yang berbeda. Selain sejarah umum, penting pula adanya sejarah yang bersifat khusus misalnya membahas tema-tema tertentu seperti sejarah perang, sejarah ekonomi.
Demikianlah sekelumit kisah Sanusi Pane, salah satu sastrawan besar yang pernah terlahir di bumi pertiwi. Karya-karya serta pemikirannya menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah sastra Indonesia. Ia wafat di Jakarta pada 2 Januari 1968.