Namanya mungkin belum setenar R.M. Tirto Adhisoerjo apalagi dr. Wahidin Soedirohoesodo. Meskipun demikian usahanya untuk mewujudkan kemajuan bagi bangsa bumiputra tidak dapat dianggap remeh. Abdul Rivai nama tokoh tersebut. Ia merupakan redaktur surat kabar Bintang Hindia yang sangat berpengaruh selama pertengahan dekade pertama abad XX. Hebatnya lagi ia menjadi orang bumiputra pertama yang mendapatkan gelar doktor (S3) dari perguruan tinggi di Eropa.
Abdul Rivai berasal dari Minangkabau. Menurut Iswara N Raditya dalam artikel berjudul Abdul Rivai Agen Ganda Pribumi-Belanda, Ia lahir pada tahun 1871 di Palembayan, Agam, Sumatera Barat.

Tidak banyak informasi mengenai riwayat pendidikan awalnya. Satu hal yang pasti, Rivai menempuh pendidikan di STOVIA dan lulus tahun 1894. Ia kemudian mendapatkan pekerjaan sebagai dokter pemerintah di Deli, Sumatera Utara. Rivai rupanya tidak bertahan lama disana. Ia merasa tidak puas dengan pekerjaannya tersebut dan memutuskan untuk pindah ke Belanda guna mendapat kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Ia pindah ke Belanda pada tahun 1899.
Perjalanannya ke Belanda ini banyak mempengaruhi pandangan Abdul Rivai terhadap nasib bangsa bumiputra. Ia sempat transit di Singapura dalam perjalanannya menuju Balanda.
Rivai dalam bukunya yang berjudul Student Indonesia di Belanda, mengisahkan bagaimana orang Inggris menguasai perekonomian Singapura sementara orang Melayu dan orang India hanya menjadi budak di sana. Kondisi tersebut mengingatkan Rivai pada tanah airnya. Ia kemudian menyimpulkan jika kepandaian dan penguasaan ilmu merupakan alasan utama mengapa orang Eropa berhasil menaklukan orang Asia.
Singkatnya, ilmu dan kepandaian merupakan alat suatu bangsa untuk mencapai kemajuan.
Setibanya di Belanda, Rivai kemudian mencoba masuk sekolah kedokteran di Utrecht. Ia dibantu oleh Prof. Eykman, seorang mantan dosen STOVIA. Parakitri Tahi Simbolon dalam buku Menjadi Indonesia mengisahkan jika Rivai gagal masuk ke sekolah dokter tersebut karena permasalahan administratif.
Abdul Rivai tidak merasa putus asa karena kegagalan tersebut. Sembari menunggu kesempatan untuk kembali masuk sekolah kedokteran, ia memutuskan untuk mencoba menggeluti dunia jurnalistik.
Karir jurnalistik Rivai dimulai dengan menulis pada beberapa surat kabar seperti Bendera Wollanda, Pewarta Wollanda, Oost en West, dan Algemeen Handelsblad. Seluruh surat kabar tersebut terbit di Amsterdam. Pada masa ini pula ia terlibat polemik dengan ahli bahasa Melayu berkebangsaan Belanda bernama A. A. Fokker.
Puncak karier Rivai dalam bidang jurnalistik terjadi saat ia menjadi redaktur surat kabar Bintang Hindia yang terbit di Hindia Belanda pada tahun 1903-1907.
Abdul Rivai mengelola Bintang Hindia bersama dengan sahabatnya seorang mantan Perwira KNIL, H. C. Clockener Broussons. Bintang Hindia merupakan surat kabar yang sangat berpengaruh selama pertengahan dekade pertama abad XX. Hal tersebut dibuktikan dengan sirkulasi Bintang Hindia yang mencapai 27.000 eksemplar pada tahun 1904.
Besarnya sirkulasi Bintang Hindia ini dimanfaatkan Abdul Rivai menyebarluaskan gagasannya untuk memajukan bangsa bumiputra.
Abdul Rivai menulis banyak gagasan dalam surat kabar Bintang Hindia. Gagasan yang ditulis oleh Rivai mayoritas seputar cara memajukan masyarakat bumiputra di Hindia Belanda. Abdul Rivai ingin memperbaiki nasib kaum bumiputra yang selama ini hidup melarat. Kemajuan kaum bumiputra menurut Rivai hanya mampu dicapai melalui pendidikan dan penguasaan ilmu.
Rivai bahkan menulis sejumlah artikel tentang nasihat dan cara untuk menempuh pendidikan di Belanda. Ia juga mengenalkan istilah baru seperti kaoem moeda dan bangsawan fikiran. Baik kaoem moeda dan bangsawan fikiran menegaskan pentingnya ilmu dan kepandaian bagi bangsa bumiputra agar bisa mengejar kemajuan layaknya orang Eropa.
Sayangnya Bintang Hindia berhenti terbit pada tahun 1907. Permasalahan dana dan konflik yang terjadi antara dirinya dan Clockener Broussons menjadi penyebab berakhirnya Bintang Hindia.
Rivai kemudian memutuskan untuk kembali berkonsentrasi pada pendidikan formalnya. Pada tahun 1907, ia berhasil menyelesaikan studi kedokterannya di Belanda. Sedianya Rivai ingin melanjutkan studi ke tingkat doktoral, namun ia merasa tidak memiliki waktu untuk menyusun disertasi. Kebetulan pada saat bersamaan Universitas Gent di Belgia menawarkan program doktoral tanpa disertasi melainkan melalui ujian terbuka. Rivai mengikuti program tersebut dan dinyatakan lulus pada tanggal 23 Juli 1908. Jadilah ia sebagai bumiputra pertama yang meraih gelar doktor di Eropa.
Beberapa waktu kemudian ia pulang ke tanah air. Rivai bahkan sempat menjadi anggota Volksaard. Aktivitas jurnalistiknya masih berlanjut dengan menjadi kontributor pada sejumlah surat kabar di Indonesia. Rivai dikenal dengan tulisan-tulisannya yang dengan tajam mengkritik pemerintah kolonial dan sikap feodalistik masyarakat bumiputra saat itu. Ia wafat pada tanggal 16 Oktober 1933 di Bandung.
Demikianlah riwayat singkat Abdul Rivai seorang wartawan bumiputra yang berhasil memperoleh gelar doktor di Eropa. Gagasan Rivai mengenai pentingnya ilmu pengetahuan untuk kemajuan bangsa bumiputra merupakan hal yang tidak boleh diabaikan. Barangkali kita memang perlu mengikuti nasihat Rivai agar bangsa Indonesia mampu bersaing serta tidak bersikap inferior terhadap bangsa asing.
Hi, this is a comment.
To get started with moderating, editing, and deleting comments, please visit the Comments screen in the dashboard.
Commenter avatars come from Gravatar.